Jumat, 27 Juni 2008

Fenomena Gunung Krakatau - Indonesia

KRAKATAU

Krakatau adalah gunung berapi yang masih aktif dan berada di Selat Sunda antara pulau Jawa dan Sumatra. Gunung berapi ini pernah meletus pada tanggal 26 Agustus 1883. Letusannya sangat dahsyat dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Sampai tanggal 26 Desember 2004, tsunami ini adalah yang terdahsyat. Suara letusan Gunung Krakatau sampai terdengar di Alice Springs, Australia dan pulau Rodrigues dekat Afrika, yang jaraknya 4.653 kilometer. Daya ledaknya diperkirakan setara dengan 200 megaton TNT atau 10.000 kali dari bom atom yang meledak di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II "Fat Man" yang hanya berkekuatan 20 kiloton TNT. Bandingkan juga dengan bom terbesar yang pernah dibuat - Tsar Bomba - yang berkekuatan 50 megaton.

Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hingga New York.

Ledakan Krakatau ini sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan letusan Gunung Toba dan Gunung Tambora di Indonesia, Gunung Tanpo di Selandia Baru dan Gunung Katmal di Alaska. Namun gunung-gunung tersebut meletus jauh di masa populasi manusia masih sangat sedikit. Sementara ketika Gunung Krakatau meletus, populasi manusia sudah cukup padat, sains dan teknologi telah berkembang, telegraf sudah ditemukan, dan kabel bawah laut sudah dipasang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa saat itu teknologi informasi sedang tumbuh dan berkembang pesat.

Tercatat bahwa letusan Gunung Krakatau adalah bencana besar pertama di dunia setelah penemuan telegraf bawah laut. Kemajuan tersebut, sayangnya belum diimbangi dengan kemajuan di bidang geologi. Para ahli geologi saat itu bahkan belum mampu memberikan penjelasan mengenai letusan tersebut.

Gunung Krakatau Purba

Melihat kawasan Gunung Krakatau di Selat Sunda, para ahli memperkirakan bahwa pada masa purba terdapat gunung yang sangat besar di Selat Sunda yang akhirnya meletus dahsyat yang menyisakan sebuah kaldera (kawah besar) yang disebut Gunung Krakatau Purba, yang merupakan induk dari Gunung Krakatau yang meletus pada 1883. Gunung ini disusun dari bebatuan andesitik.

Catatan mengenai letusan Krakatau Purba yang diambil dari sebuah teks Jawa Kuno yang berjudul Pustaka Raja Parwa yang diperkirakan berasal dari tahun 416 Masehi. Isinya antara lain menyatakan:


“Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula.... Ketika air menenggelamkannya pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatera


Gunung Krakatau pada lukisan abad ke-19.

Tinggi 813 m (2,667 kaki)

Letak Selat Sunda,

Indonesia Koordinat 6°6′27″LS,105°25′3″BT

Jenis Kaldera vulkanik

Letusan terakhir 2007

Pakar geologi B.G. Escher dan beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa kejadian alam yang diceritakan berasal dari Gunung Krakatau Purba, yang dalam teks tersebut disebut Gunung Batuwara. Menurut buku Pustaka Raja Parwa tersebut, tinggi Krakatau Purba ini mencapai 2.000 meter di atas permukaan laut, dan lingkaran pantainya mencapai 11 kilometer.

Akibat ledakan yang hebat itu, tiga perempat tubuh Krakatau Purba hancur menyisakan kaldera (kawah besar) yang lebarnya kurang lebih 7 km di Selat Sunda. Sisi-sisi atau tepi kawahnya atau pecahannya membentuk pulau baru yang dikenal sebagai Pulau Rakata, Pulau Panjang (Verlaten) dan Pulau Sertung (Lang). Letusan gunung ini disinyalir bertanggung- jawab atas terjadinya abad kegelapan di muka bumi. Penyakit sampar bubonic terjadi karena temperatur mendingin yang secara signifikan mengurangi jumlah penduduk di muka bumi.

Letusan ini juga dianggap turut andil atas berakhirnya masa kejayaan Persia purba, transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Byzantium, berakhirnya peradaban Arabia Selatan, punahnya kota besar Maya, Tikal dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang penuh teka-teki. Ledakan Krakatau Purba diperkirakan berlangsung selama 10 hari dengan perkiraan kecepatan muntahan massa mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan tersebut telah membentuk perisai atmosfer setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur sebesar 5-10 derajat selama 10-20 tahun.

Perkembangan Gunung Krakatau

Pulau Rakata, yang merupakan satu dari tiga pulau sisa Gunung Krakatau Purba kemudian tumbuh sesuai dengan dorongan vulkanik dari dalam perut bumi yang dikenal sebagai Gunung Rakata yang terbuat dari batuan basaltik. Kemudian, dua gunung api muncul dari tengah kawah, bernama Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan yang kemudian menyatu dengan Gunung Rakata yang muncul terlebih dahulu. Persatuan ketiga gunung api inilah yang disebut Gunung Krakatau.

Gunung Krakatau pernah meletus pada tahun 1680 letusannya terdengar sejauh 160 km dan lontaran debu dan batu setinggi 11 km, letusan ini menghasilkan lava andesitik asam. Lalu pada tahun 1880, Gunung Perbuwatan aktif mengeluarkan lava meskipun tidak meletus. Setelah masa itu, tidak ada lagi aktivitas vulkanis di Krakatau hingga 20 Mei 1883. Pada hari itu, setelah 200 tahun tertidur, terjadi ledakan kecil pada Gunung Krakatau. Itulah tanda-tanda awal bakal terjadinya letusan dahsyat di Selat Sunda. Ledakan kecil ini kemudian disusul dengan letusan-letusan kecil yang puncaknya terjadi pada 26-28 Agustus 1883.

Letusan Gunung Krakatau

Pada tanggal 26 Agustus siang, letusan mulai terdengar dan menyemburkan debu dan asap setinggi 36 km selama 4 jam serta menimbulkan tsunami pertama. Tanggal 27 Agustus 1883, terjadi empat letusan dashyat, dan yang terbesar adalah letusan ketiga pukul 08.20, letusan terakhir terjadi pukul 10.20.

Menurut Simon Winchester, ahli geologi lulusan Universitas Oxford Inggris yang juga penulis National Geoghrapic mengatakan bahwa ledakan itu adalah yang paling besar, suara paling keras dan peristiwa vulkanik yang paling meluluh-lantakkan dalam sejarah manusia moderen. Suara letusannya terdengar sampai 4.600 km dari pusat letusan dan bahkan dapat didengar oleh 1/8 penduduk bumi saat itu,mulai dari Pulau Rodriguez dekat Kepulauan Mauritius yang berjarak 4653 dan Srilanka sampai Perth di Australia,

Menurut para peneliti di University of North Dakota, ledakan Krakatau bersama Tambora (1815) mencatatkan nilai Volcanic Explosivity Index (VEI) terbesar dalam sejarah modern. Sedangkan buku The Guiness Book of Records mencatat ledakan Krakatau sebagai ledakan yang paling hebat yang terekam dalam sejarah.

Air laut yang masuk ke dalam retakan dapur magma menghasilkan uap sangat panas dan tekanan yang tinggi sehingga mampu menghasilkan letusan yang tercatat memiliki Indeks Kekuatan Vulkanik (VEI) bernilai 6 yang disebut juga Colossal. Standar pengukuran ini didasarkan kepada volume debu yang dihasilkan, ketinggian letusan yang diukur dari kawah dan lamanya letusan. Nilai 6 ini berarti memiliki standar ketinggian

letusan minimal 25 km, rata-rata ketebalan debu bervolume 10 sampai 100 km3 atau dalam radius 10 mil setebal 10 kaki dan dalam radius 300 mil setebal 1 inci. Bandingkan dengan letusan gunung Tambora di Sumbawa pada tahun 1815 yang berindeks VEI 7, dan letusan Gunung Vesuvius di Italia pada tahun 79 SM yang mengubur kota Pompeii dan membunuh penduduknya dengan gas beracun

Selain itu, ledakan Krakatau telah melemparkan batu-batu apung dan abu vulkanik dengan volume 18 kilometer kubik. Semburan debu vulkanisnya mencavai 80 km. Benda-benda keras yang berhamburan ke udara itu jatuh di dataran pulau Jawa dan Sumatera bahkan sampai ke Sri Lanka, India, Pakistan, Australia dan Selandia Baru. Debu yang dilontarkan mempengaruhi sinar
matahari dan iklim global yang mampu menurunkan suhu di bumi sampai 1,2°C selama beberapa tahun akibat terbawa oleh angin di lapisan Stratosfer. Matahari terlihat biru dan hijau dari beberapa lokasi sebagai akibat dari terlontarnya debu dan aerosol ke stratosfer dan mengelilingi katulistiwa sebanyak 13 kali. Efek lainnya menyebabkan sunset dan sunrise berwarna sangat merah selama hampir 3 tahun

Akibat letusan itu menghancurkan Gunung Danan, Gunung Perbuwatan serta sebagian Gunung Rakata dimana setengah kerucutnya hilang, membuat cekungan selebar 7 km dan sedalam 250 meter. Gelombang laut naik setinggi 40 meter menghancurkan desa-desa dan apa saja yang berada di pesisir pantai. Tsunami ini timbul bukan hanya karena letusan tetapi juga longsoran bawah laut.

Tercatat jumlah korban yang tewas mencapai 36.417 orang berasal dari 295 kampung kawasan pantai mulai dari Merak (Serang) hingga Cilamaya di Karawang, pantai barat Banten hingga Tanjung Layar di Pulau Panaitan (Ujung Kulon) serta Sumatera Bagian selatan. Di Ujungkulon, air bah masuk sampai 15 km ke arah barat. Keesokan harinya sampai beberapa hari kemudian, penduduk Jakarta dan Lampung pedalaman tidak lagi melihat matahari. Batavia yang berjarak hanya 169 km dihantam tsunami setinggi 5 meter, gelombang Tsunami yang ditimbulkan bahkan merambat sampai Auckland, Selandia Baru yang berjarak 7.767 km, Aden - sebuah kota di pesisir selatan Jazirah Arab - yang terletak 7.000 km

jauhnya dari Krakatau, Tanjung Harapan yang berjarak 14.076 km, Panama yang berjarak 20.646 km, Hawaii, pantai barat Amerika Tengah, Amerika Selatan dan bahkan sampai selat Inggris yang berjarak 19.873 km dari Krakatau

Letusan karakatau juga menghasilkan gelombang kejut (shock waves) diatmosfer, gelombang mirip tsunami diseluruh penjuru dunia, gelombang kejut ini mampu bergerak mengelilingi Bumi hingga 7 kali selama 5 hari kemudian, dan setiap kali seluruh gelombang kejut bertemu di titik antipode Krakatau (yakni di dekat Bogota, Colombia) muncul'tepukan-tepukan' udara yang tak kalah menggidikkan.


Anak Krakatau

Mulai pada tahun 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau dari kawasan kaldera purba tersebut yang masih aktif dan tetap bertambah tingginya. Kecepatan pertumbuhan tingginya sekitar 20 inci per bulan. Setiap tahun ia menjadi lebih tinggi sekitar 20 kaki dan lebih lebar 40 kaki. Catatan lain menyebutkan penambahan tinggi sekitar 4 cm per tahun dan jika dihitung, maka dalam waktu 25 tahun penambahan tinggi anak Rakata mencapai 7.500 inci atau 500 kaki lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya. Penyebab tingginya gunung itu disebabkan oleh material yang keluar dari perut gunung baru itu. Saat ini ketinggian Anak Krakatau mencapai sekitar 230 meter di atas permukaan laut, sementara Gunung Krakatau sebelumnya memiliki tinggi 813 meter dari permukaan laut.

Menurut Simon Winchester, sekalipun apa yang terjadi dalam kehidupan Krakatau yang dulu sangat menakutkan, realita-realita geologi, seismik serta tektonik di Jawa dan Sumatera yang aneh akan memastikan bahwa apa yang dulu terjadi pada suatu ketika akan terjadi kembali. Tak ada yang tahu pasti kapan Anak Krakatau akan meletus. Beberapa ahli geologi memprediksi letusan in bakal terjadi antara 2015-2083. Namun pengaruh dari gempa di dasar Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 juga tidak bisa diabaikan.

Menurut Profesor Ueda Nakayama salah seorang ahli gunung api berkebangsaan Jepang, Anak Krakatau masih relatif aman meski aktif dan sering ada letusan kecil, hanya ada saat-saat tertentu para turis dilarang mendekati kawasan ini karena bahaya lava pijar yang dimuntahkan gunung api ini. Para pakar lain menyatakan tidak ada teori yang masuk akal tentang Anak Krakatau yang akan kembali meletus. Kalaupun ada minimal 3 abad lagi atau sesudah 2325 M. Namun yang jelas, angka korban yang ditimbulkan lebih dahsyat dari letusan sebelumnya.

How to go to Krakatau

Anak Krakatau sebenarnya memang bukan sekadar daerah wisata, melainkan yang utama adalah fungsinya sebagai cagar alam. Anak Krakatau merupakan "harta paling berharga" bagi ilmu pengetahuan, karena kemunculan gejala gunung berapi dari dalam laut sungguh fenomena sangat langka di dunia.Oleh karena itu, ekosistem Gunung Anak Krakatau yang saat ini terus berevolusi, dijaga sangat ketat kelestariannya.

Tercatat hanya empat tujuan seseorang diperbolehkan menginjakkan kakinya di Anak Krakatau, yaitu melakukan penelitian, pendidikan, pengembangan pengetahuan dan penunjang budidaya.
Pengaturan ketat tersebut dilakukan terhadap Gunung Anak Krakatau mengingat kian hari kian banyak wisatawan yang datang berkunjung, baik wisatawan lokal maupun wisatawan asing.

Untuk mendaki puncak Anak Krakatau, diperlukan izin khusus yang dikeluarkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat, izin masuk yang dikeluarkan BKSDA, namanya Simaksi (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi). Untuk masuk ke Anak Krakatau, sistemnya bukan menggunakan karcis masuk, karena Anak Krakatau adalah cagar alam. Peraturan tersebut adalah untuk menjamin keamanan para pengunjung, karena Anak Krakatau seringkali menunjukkan aktivitas yang dianggap berbahaya. Beberapa kali status aktivitas Anak Krakatau memang ditingkatkan menjadi "waspada", namun pengunjung masih mendapatkan surat izin jika kondisinya dinilai tidak membahayakan.

Mendaki Gunung yang berada di tengah laut merupakan tantangan tersendiri, . Gunung yang pernah meletus tahun 1883 ini, sekarang memiliki dua puncak yakni Rakata Besar (813 mdpl) dan Anak Krakatau (280 mdpl) yang muncul tahun 1930.

Di sekitar Pulau Krakatau, pertumbuhan vegetasinya sangatlah minim, terlebih di pulau Anak Rakata yang bisa dijumpai hanya pohon cemara. Perkembangan flora dan fauna di pulau ini sempat terhenti tatkala Anak Krakatau meletus tahun 1952 dan 1953. Lambatnya laju perkembangan vegetasi di kawasan ini dikarenakan aktivitas gunung Anak Krakatau. Hingga kini ketinggian gunung ini bertambah 5 cm setiap bulannya. Dari kawahnya pun masih sering tersembur batuan dan lava, bahkan pasir yang ada di punggung gunung itu terasa panas.

Flora yang dapat ditemui sekarang diantaranya adalah kelapa (Cocos nucifera), ketapang (Terminalia catappa) dan cemara (Casuariana equisetifolia) sedangkan faunanya sering terlihat keberadaan biawak (Varanus salvator), penyu hijau (Cholonia midas), ular phyton (Phyton sp), kalong (Pteropus vampirus), burung raja udang (Alcedo atthis), kadal dan kupu-kupu.

Rute untuk mencapai Anak Krakatau sangat mudah, yakni lewat Canti, Kalianda, Lampung Selatan. Dari Jakarta Anda menuju arah Merak, lalu dengan menumpang kapal Ferry (Roro), terus ke Bakauheuni, ditempuh dalam 2,5 jam pelayaran. Dari sana dibutuhkan waktu 1 jam untuk mencapai Kalianda, dari Kalianda 20 menit ke Pelabuhan Canti Canti merupakan pelabuhan nelayan yang terdekat dengan Krakatau. Dari sini kita bisa ke Krakatau dengan dua alternatif perjalanan, ke legon Cabe (P.Rakata) atau P.Sebesi.

Untuk mencapai pantai Legon Cabe, Rakata Besar menempuh kurang lebih 3,5 jam perjalanan dengan menggunakan / menyewa kapal nelayan. Kapal tersebut melepas jangkarnya kurang lebih 100 meter dari garis pantai, sehingga kita beserta seluruh perlangkapan yang dibawa harus terlebih dahulu naik sampan sebelum pindah kapal. Legon ini dulunya bernama Legon Burung Hantu, karena banyak sekali burung hantu, namun seiring dengan beredarnya waktu burung itu sulit ditemukan karena sering diburu. Di sini, Anda dapat berkemah di cekungan lembah yang berada 50 meter dari pantai. Dari Legon Cabe, perjalanan diteruskan ke Legon Cemara, pantai gunung Anak Krakatau yang memakan waktu setengah jam. Dalam perjalanan terlihat jelas keanggunan Anak Krakatau yang menjulang tinggi, sungguh dramatis, sekan kita berada di negeri antah berantah.

Dari Canti menuju ke pulau Sebesi menempuh dua jam perjalanan menggunakan perahu, di pulau sebesi kita bisa menginap dirumah penduduk atau berkemah disini. Pulau Sebesi adalah pulau berpenghuni yang terdekat dengan Krakatau. Dengan menggunakan perahu sewaan, Anak Krakatau dapat ditempuh selama kurang lebih dua jam dari Pulau Sebesi.

Mendaki Anak Krakatau hanya diperkenankan mencapai punggung gunungnya saja, yakni batas aman yang diijinkan. Itupun sebenarnya sudah rawan, yakni lokasi gunungan pasir hitam panas yang menjulang bak kerucut ditemani angin yang bertiup dengan kerasnya. Dari ketinggian lereng, jelas terlihat pulau Panjang alias Rakata Kecil, Sertung, Rakata Besar, Siberut dan Panaitan. Beberapa pulau karang atol dengan lautnya yang biru juga terlihat indah.

Catatan:
Buku terlengkap yang membahas tentang meletusnya Gunung Krakatau di tahun 1883 secara detail adalah "Krakatau 1883: The volcanic eruption and its effects" karya Simkin dan Fiske yang diterbitkan tahun 1983 atau buku "Krakatoa : the day the world exploded" karya Simon Winchester yang terbit tahun 2002, atau film luar negeri yang bercerita tentang krakatau dari BBC yang berjudul Krakatoa: The Last Day